Thursday, April 21, 2011

Ayahku Tukang Batu

Ayahku Tukang Batu

Alkisah, sebuah keluarga sederhana memiliki seorang puteri yang menginjak remaja. Sang ayah bekerja sebagai tukang batu di sebuah perusahaan kontraktor besar di kota itu. Sayang, sang puteri merasa malu dengan ayahnya. Jika ada yang bertanya tentang pekerjaan ayahnya, dia selalu menghindar dengan memberi jawaban yang tidak jujur. "Oh, ayahku bekerja sebagai ketua di perusahaan kontraktor," katanya, tanpa pernah menjawab bekerja sebagai apa.

Puteri lebih senang menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Ia sering berpura-pura menjadi anak dari seorang ayah yang bukan bekerja sebagai tukang batu. Melihat dan mendengar anak semata-mata wayangnya, sang ayahnya bersedih. Perkataan dan perbuatan anaknya yang tidak jujur dan mengingkari keadaan yang sebenarnya membuatnya telah melukai hatinya.

Hubungan di antara mereka jadi tidak harmoni. Puteri lebih banyak menghindar jika bertemu dengan ayahnya. Ia lebih memilih mengurung diri di biliknya yang kecil dan sibuk menyesali keadaan. "Sungguh Tuhan tidak adil kepadaku, memberiku ayah seorang tukang batu," keluhnya dalam hati.
Melihat kelakuan puterinya, sang ayah memutuskan untuk melakukan sesuatu. Maka, suatu hari, si ayah mengajak puetrinya berjalan berdua ke sebuah taman, tak jauh dari rumah mereka. Setengah terpaksa, si puteri mengikuti kehendak ayahnya.

Setelah sampai di taman, dengan raut penuh senyuman, si ayah berkata, "Anakku, ayah selama ini menghidupi dan membiayai sekolahmu dengan bekerja sebagai tukang batu. Walaupun hanya sebagai tukang batu, tetapi ayah adalah tukang batu yang baik, jujur, disiplin dan jarang melakukan kesalahan. Ayah ingin menunjukkan sesuatu kepadamu, lihatlah gedung bersejarah yang ada di sana. Gedung itu boleh berdiri dengan megah dan indah kerana ayah salah satu orang yang ikut membangun. Memang, nama ayah tidak tercatat di sana, tetapi keringat ayah ada di sana. Juga, berbagai bangunan indah lain di kota ini di mana ayah menjadi bahagian tak terpisahkan dari gedung-gedung tersebut. Ayah bangga dan bersyukur boleh bekerja dengan baik hingga hari ini."

Mendengar sang ayah, si puteri terpana. Ia terdiam tak boleh berkata apa-apa. Sang ayah pun melanjutkan percakapannnya, "Anakku, ayah juga ingin engkau merasakan kebanggaan yang sama dengan ayahmu. Sebab, tak peduli apa pun pekerjaan yang kita kerjakan, bila disertai dengan kejujuran, perasaan cinta dan tahu untuk apa itu semua, maka selayaknya kita mensyukuri nikmat itu."

Setelah mendengar semua perkataan sang ayah, si puteri segera memeluk ayahnya. Sambil terisak, ia berkata, "Maafkan puteri ayah. Puteri salah selama ini. Walaupun tukang batu, tetapi ternyata Ayah adalah seorang pekerja yang hebat. Puteri bangga pada Ayah." Mereka pun berpelukan dalam suasana penuh keharuan.

Pembaca yang budiman,
Begitu ramai orang yang tidak boleh menerima keadaan dirinya sendiri apa adanya. Entah itu masalah pekerjaaan, gelar, wang, kedudukan, dan sebagainya. Mereka merasa malu dan rendah diri atas apa yang ada, sehingga selalu berusaha menutupi dengan identiti dan keadaan yang dipalsukan. Tetapi, justeru kerana itulah, bukan kebahagiaan yang dinikmati. Namun, setiap hari mereka hidup dalam keadaan was-was, demi menutupi semua kepalsuan. Tentu, pola hidup seperti itu sangat melelahkan. Maka, daripada hidup dalam kebahagiaaan yang palsu, jauh lebih baik seperti tukang batu dalam kisah di atas. Walaupun hidup sederhana, ia memiliki kehormatan dan integriti sebagai manusia. Sesungguhnya, kebolehan menerima apa adanya kita hari ini adalah kebijaksanaan dan mahu berusaha memulai dari apa adanya kita hari ini dengan kejujuran dan kerja keras adalah keberanian!

No comments:

Post a Comment