Wednesday, August 17, 2011

SENI MENDENGAR

Seni mendengar
Ada sebuah fakta menarik yang patut direnungkan. Ternyata 80% waktu manusia habis digunakan untuk berkomunikasi dan 45% dialokasikan untuk mendengar. Sayangnya, terdapat sekitar 75% kata-kata yang diabaikan, disalah fahami, dan dilupakan. Sungguh sebuah ironi komunikasi yang seharusnya tidak terjadi jika keterampilan mendengarkan menjadi menu utama dan pertama saat bercengkrama.

Ternyata terdapat banyak sekali jenis seni mendengar. Ada yang disebut mendengar aktif, analitik, empeti, kritis, selektif, atentif, apresiatif, sampai dengan reflektif. Semua jenis mendengar ini seolah mengingatkan kita bahawa setiap orang sejatinya ingin didengar. Sayangnya, masih banyak individu, bahkan profesional korporasi, yang belum menyedari bahwa keterampilan yang satu ini akan meninggikan citra diri dan profit secara kekal dan militan jika dilakukan dengan penuh ketulusan dan keseriusan.

Keterlibatan Emosi

Mari kita lihat, bagaimana seorang professional call-center, baik yang bertugas di udara mahupun di darat, masih berdebat dengan pelanggan atau pencari informasi dengan kata-kata sarkastis, emosional, merendahkan, sampai dengan menghina. Betapa pelanggan dihadapkan pada situasi terpidana sebagai pengisi pundi korporasi yang seharusnya membangun citra positif emiten di lantai bursa. Bercermin dari kejadian itu, terlihat ada persoalan serius dalam hal mendengarkan. Teori yang relatif pas untuk kes ini adalah "reflective listening".

Teori ini bermula dari praktik kaunseling dan psikoterapi yang dilakukan Carl Rogers terhadap pasiennya. Reflective Listening adalah sebuah tindakan mengulang secara verbal apa yang didengar dari orang lain. Mengulang apa yang diucapkan dan dirasakan oleh pihak lain akan menunjukan rasa empeti terhadap apa yang dialami oleh penutur.Perkataan  yang di-rephrase tersebut akan mengubah subjek "saya" menjadi "kita", ertinya, ketika seorang menyampaikan keluh kesahnya secara subjektif, teknik reflective listening akan mengubahnya menjadi keluhan bersama, iaitu keluhan "kita". Dalam situasi ini,  pengeluh akan merasa bahawa dia tidak sendirian dalam menghadapi peristiwa tidak menyenangkan tersebut. 
 
Ada empat kompenen yang menjadi syarat minimum dalam melakukan Reflective Listening: empathy, acceptance, congruence, dan concreteness.

Pertama,
empathy (empati) mewajibkan pendengar untuk memfokuskan diri pada pemberi keluhan yang tengah menumpahkan saran, kritik, ataupun masukan atas apa yang dialaminya. Di sini, referensi yang dipakai harus bingkai orang yang tengah menyampaikan keluhan. Dengan demikian, "merasakan" apa yang dialami orang lain akan membuat pengeluh mendapatkan sebuah penghiburan. Ternyata ia, difahami. Hal ini sangat penting, terutama dalam menangani pelanggan yang sedang marah atas sebuah produk atau pelayanan yang tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Jika rasa empeti di depankan secara simpatik, niscaya, luapan lahar emosi akan menjadi salju penyejuk di musim panas.

Kedua, acceptance (penerimaan) sangat terkait erat dengan empeti. Penerimaan ini memberikan penghargaan kepada setiap orang bahawa mereka sesungguhnya berharga. Ertinya, siapa pun yang menyampaikan keluhan atau sejenisnya harus diterima secara empatik dan simpatik. Keliru apabila dalam praktik korporasi, banyak petugas di garda depan mengabaikan hal ini hanya kerana melihat penampilan pengeluh/pencari informasi yang tidak sesuai dengan standard yang biasa dihadapi. Jika ini terjadi, konsep penerimaan di sini menjadi sebuah teori kosong belaka. Sang pencari informasi akan kecewa dan akhirnya pindah ke lain hati (baca: korporasi lain). Ingat, di kening setiap orang sesungguhnya terpatri sebuah kalimat "make me feel important".

Ketiga, congruence
(harmoni) di sini menunjuk pada ketulusan dan pengertian atas apa yang terjadi pada orang lain. Artinya, kita juga merasa kecewa atas apa yang dialami oleh orang yang mengeluh. Tunjukan melalui bahasa nonverbal. Bahasa tubuh ini harus secara tulus diekspresikan, bukan dibuat-buat. Melalui praktek harmoni ini (sinkronasasi verbal dan nonverbal), ikatan emosional akan semakin kuat terpatri dalam ruang afeksi sehingga pindah ke lain hati akan menjadi pertimbangan dengan urutan terbawah.

Keempat, concreteness
(kekonkretan). Poin ini mengacu pada hal-hal yang lebih bersifat spesifik daripada generik. Sebahagian pendengar, tanpa sadar atau ketidaktahuan, sering memberikan komentar atas keluhan atau ungkapan orang lain secara generik tanpa menyentuh ke inti keluhan. Misalnya, ketika ada orang yang mengeluh soal pelayanan call-center yang tidak baik, sering petugas di garda depan mengatakan bahawa hal itu tengah ditangani oleh perusahaan dan memerlukan waktu yang tidak dapat ditentukan bila selesainya. Ini adalah contoh ketiadaan kekonkretan seperti dimaksud di atas.

Lalu, bagaimana mengatasi hal tersebut? Seharusnya, sang petugas melokalisir persoalan secara fokus. Ia seharusnya mengatakan bahwa call-center mengalami gangguan selama 2-3 hari kerja dan akan bisa diatasi dalam 1-2 hari ke depan. Ia mengonkretkan persoalan secara tepat (call-center saja) bukan korporasi secara umum yang terlalu rumit meski hanya untuk dibayangkan. Dengan melokalisir persoalan secara sempit dan spesifik, rasanya persoalan akan lebih mudah menemui idea.

Jika setiap pendengar memiliki empat orientasi minimal dalam Reflective Listening di atas (emphaty, acceptance, congruence, concreteness) rasanya berjuta keluhan di kolom-kolom surat pembaca media massa selama ini akan mengalami masa surut secara kuantitatif maupun kualitatif.

1 comment: