Friday, December 10, 2010

Semangkuk Bakso

Semangkuk Bakso
Dikisahkan, biasanya di hari ulang tahun Puteri, ibu pasti sibuk di dapur memasak dan menghidangkan makanan kesukaannya. Tepat waktu yang ditunggu, betapa keciwa hati si Puteri, meja makan kosong, tidak kelihatan sedikit pun bayangan makanan kesukaannya tersedia di sana. Puteri kesal, marah, dan meluatkan."Huh, ibu sudah tidak sayang lagi padaku. Sudah tidak ingat hari ulang tahun anaknya sendiri, sungguh keterlaluan," katanya dalam hati. "Ini semua pasti kerana adinda sakit semalam sehingga ibu lupa pada ulang tahun dan makanan kesukaanku. Dasar anak manja!" Ditunggu sampai siang, kelihatannya orang serumah tidak peduli lagi kepadanya. Tidak ada yang memberi selamat, ciuman, atau mungkin memberi hadiah untuknya.

Perasaan marah dan sedih, Puteri pergi meninggalkan rumah begitu sahaja. Perut kosong dan fikiran yang dipenuhi ketidakpuasan hati membuatnya berjalan sembarangan. Ketika melalui sebuah gerabak penjual bakso dan mencium aroma nikmat, tiba-tiba Puteri sedar, betapa lapar perutnya! Dia memperhati kepulan asap di atas semangkuk bakso. "Mau beli bakso, neng? Duduk saja di dalam," sapa si tukang bakso. "Mau, bang. Tapi saya tidak ada wang," jawabnya tersipu malu. "Bagaimana kalau hari ini abang belanja kamu? Duduklah, abang belanja mi bakso yang sangat lazat." Putri pun segera duduk di dalam.

Tiba-tiba, dia tidak kuasa menahan air matanya, "kenapa menangis, neng?" tanya si abang. "Saya ingat ibu saya, Sebenarnya hari ini ulang tahun saya. Malah abang, yang tidak saya kenal, yang memberi saya makan. Ibuku sendiri tidak ingat hari ulang tahunku apa lagi memberi makanan kesukaanku. Saya sedih dan keciwa, bang." "Neng cantik, abang yang baru sekali sahaja memberi makanan boleh buat neng terharu sampai menangis, pada hal ibu dan bapa neng, yang beri makan setiap hari, dari neng bayi sampai sebesar ini, apa neng pernah terharu begini? Jangan ambil hati orang tua sendiri neng, nanti menyesal."

Puteri seketika sedar, "Kenapa aku tidak pernah berfikir seperti itu?"Setelah menghabiskan makanan dan mengucap banyak terima kasih, Puteri bergegas pergi. Setiba di rumah, ibunya menyambut dengan pelukan hangat, wajah cemas sekaligus lega, "Puteri, dari mana kamu seharian ini, ibu tidak tahu harus mencari kamu ke mana. Puteri, selamat ulang tahun ya. Ibu telah membuat semua makanan kesukaan Puteri. Puteri pasti lapar kan? Mari nikmati semua itu." "Ibu, maafkan Puteri, Bu," Puteri pun menangis dan menyesal dalam pelukan ibunya. Apa yang membuat Puteri semakin menyesal, ternyata di dalam rumah hadir pula sahabat-sahabat baik dan uncle serta kawan rapatnya. Ternyata ibu Puteri membuatkan pesta kejutan untuk puteri kesayangannya.

Sahabat,
Ketika kita mendapat pertolongan atau menerima pemberian sekecil apapun dari orang lain, sering kali kita begitu senang dan selalu berterima kasih. Sayangnya, kadang kala kasih dan perhatian tanpa syarat yang diberikan oleh orang tua dan saudara tidak kelihatan di mata kita. Seolah-olah menjadi kewajiban orang tua untuk selalu berada di posisi siap membantu, bila-bila masa. Bahkan, jika hal itu tidak dapat dipenuhi, kita segera bereaksi, seperti tidak sayanglah, tidak mengerti anak sendirilah, atau dilanda perasaan sedih, marah, dan keciwa. Sikap seperti ini hanya merugikan diri sendiri. Maka untuk itu, kita perlu belajar dan belajar mengendalikan diri, agar kita mampu hidup secara harmoni dengan keluarga, orang tua, saudara, dan masyarakat.

No comments:

Post a Comment